2 Skema Kerja Sama Bank Syariah dan Fintech Yang Dirancang OJK
Senin, 21 Januari 2019
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merancang dua skema kerja sama antara bank syariah dengan perusahaan financial technology (fintech) untuk menambah daya saing bank syariah.
Pertama, kerja sama dengan skema shadow investor atau investor bayangan. Dalam skema tersebut, bank syariah menawarkan proyek pembiayaan melewati perusahaan teknologi keuangan kepada investor. Namun, dalam penawaran itu tidak diumumkan kepada investor bahwa proyek pembiayaan itu dimotori oleh bank syariah.
Dengan skema tersebut, sumber pendanaan diperoleh dari investor yang tercatat pada perusahaan teknologi finansial. Adapun, empunya proyek yang akan diongkosi adalah nasabah bank syariah bersangkutan . Imbal hasil untuk perusahaan teknologi keuangan didapat dari fee investor, sedangkan bank mendapatkannya dari empunya proyek.
Kedua, OJK menciptakan skema outsorcing platform yang merupakan kerja sama antara bank syariah dengan perusahaan teknologi finansial. Hampir serupa dengan skema kesatu , perbedaannya hanya terletak pada informasi yang lebih terbuka untuk investor tentang bank syariah sebagai promotor pembiayaan.
Di samping kedua skema kerja sama langsung tersebut, masih terdapat dua skema pengembangan fintech dan teknologi digital untuk menyalurkan pembiayaan bank syariah. Kedua skema itu pengembangan fintech ataupun platform pembiayaan digital secara berdikari dan secara kolektif menyusun konsorsium.
Skema penerapan teknologi ini nantinya diharapkan dapat mendorong pemasaran produk Shariah Restricted Intermediary Account (SRIA) yang sedang disiapkan, dengan di antara produk utamanya ialah Mudharabah Muqayadah.
Produk itu digadang-gadang bakal menjadi terobosan baru dalam industri perbankan syariah. Investor bisa langsung mengongkosi proyek yang ditawarkan melewati perbankan, dengan tenor masa-masa dan imbal hasil yang disepakati terlebih dahulu.
Bank syariah bakal terhindar dari mismatch tenor antara pembiayaan dan pendanaan. Secara teknis, duit yang disalurkan tidak bakal dihitungkan ke dalam neraca bank, sampai-sampai bank bakal terhindar dari Giro Wajib Minimum dan Aktiva Tertimbang Berdasarkan keterangan dari Risiko (ATMR).
Direktur Penelitian, Pengembangan Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah menuliskan bahwa saat ini regulator masih menelaah skema kerja sama dengan perusahaan teknologi keuangan maupun produk digital secara umum dan terkotak. OJK, lanjutnya, masih menjadi pengawas dari pekerjaan yang telah ada dan masih dalam etape pengembangannya.
"Istilahnya kami itu masih regulatory sandbox, kami masih memantau yang telah ada dalam kotak dan belum dapat keluar dari sana. Jadi belum secara mendetail seperti apa," katanya untuk Bisnis, belum lama ini.
Meski demikian, Deden menegaskan regulator memang tidak dapat melawan era padat teknologi. Perbankan syariah juga dapat mengerjakan kerja sama sebagaimana bank konvensional yaitu mengakuisisi anak usaha fintech dan kerja sama baik melewati chanelling pembiayaan atau kerja sama lainnya.
Pertama, kerja sama dengan skema shadow investor atau investor bayangan. Dalam skema tersebut, bank syariah menawarkan proyek pembiayaan melewati perusahaan teknologi keuangan kepada investor. Namun, dalam penawaran itu tidak diumumkan kepada investor bahwa proyek pembiayaan itu dimotori oleh bank syariah.
Dengan skema tersebut, sumber pendanaan diperoleh dari investor yang tercatat pada perusahaan teknologi finansial. Adapun, empunya proyek yang akan diongkosi adalah nasabah bank syariah bersangkutan . Imbal hasil untuk perusahaan teknologi keuangan didapat dari fee investor, sedangkan bank mendapatkannya dari empunya proyek.
Kedua, OJK menciptakan skema outsorcing platform yang merupakan kerja sama antara bank syariah dengan perusahaan teknologi finansial. Hampir serupa dengan skema kesatu , perbedaannya hanya terletak pada informasi yang lebih terbuka untuk investor tentang bank syariah sebagai promotor pembiayaan.
Di samping kedua skema kerja sama langsung tersebut, masih terdapat dua skema pengembangan fintech dan teknologi digital untuk menyalurkan pembiayaan bank syariah. Kedua skema itu pengembangan fintech ataupun platform pembiayaan digital secara berdikari dan secara kolektif menyusun konsorsium.
Skema penerapan teknologi ini nantinya diharapkan dapat mendorong pemasaran produk Shariah Restricted Intermediary Account (SRIA) yang sedang disiapkan, dengan di antara produk utamanya ialah Mudharabah Muqayadah.
Produk itu digadang-gadang bakal menjadi terobosan baru dalam industri perbankan syariah. Investor bisa langsung mengongkosi proyek yang ditawarkan melewati perbankan, dengan tenor masa-masa dan imbal hasil yang disepakati terlebih dahulu.
Bank syariah bakal terhindar dari mismatch tenor antara pembiayaan dan pendanaan. Secara teknis, duit yang disalurkan tidak bakal dihitungkan ke dalam neraca bank, sampai-sampai bank bakal terhindar dari Giro Wajib Minimum dan Aktiva Tertimbang Berdasarkan keterangan dari Risiko (ATMR).
Direktur Penelitian, Pengembangan Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah menuliskan bahwa saat ini regulator masih menelaah skema kerja sama dengan perusahaan teknologi keuangan maupun produk digital secara umum dan terkotak. OJK, lanjutnya, masih menjadi pengawas dari pekerjaan yang telah ada dan masih dalam etape pengembangannya.
"Istilahnya kami itu masih regulatory sandbox, kami masih memantau yang telah ada dalam kotak dan belum dapat keluar dari sana. Jadi belum secara mendetail seperti apa," katanya untuk Bisnis, belum lama ini.
Meski demikian, Deden menegaskan regulator memang tidak dapat melawan era padat teknologi. Perbankan syariah juga dapat mengerjakan kerja sama sebagaimana bank konvensional yaitu mengakuisisi anak usaha fintech dan kerja sama baik melewati chanelling pembiayaan atau kerja sama lainnya.